Agama Kaharingan: ‘Dirangkul’ Pemerintah, Belum Siap Diterima Masyarakat

Ekspresionline.com–Sebagai pembuka tulisan, saya ingin menyampaikan satu kejadian yang dialami Ndoli, seorang pemuda asal Brebes. Hanya karena KTP Ndoli bertuliskan “penghayat” pada kolom agama, saudaranya tidak dapat dimakamkan di tempat pemakaman umum. Mau tidak mau, ia harus mengubur sendiri saudaranya di pekarangan rumahnya.

Kisah yang dialami Ndoli hanya satu dari beragam diskriminasi terhadap penganut agama lokal di Indonesia. Perbincangan mengenai diskriminasi penganut agama lokal tak kunjung menemui titik penyelesaian. Padahal, agama lokal sudah ada sejak lama, bahkan sebelum enam agama resmi diakui di Indonesia.

Secara administratif, mereka belum sepenuhnya dianggap ada oleh negara. Mereka masih luput dari keadilan regulasi pemerintah. Salah satu regulasi itu ialah Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 1978, berisi tentang pengalihan kebijakan yang semula agama penganut dibawahi oleh Kementerian Agama, dialihkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tidak selesai sampai di situ, ternyata mereka hidup tanpa keabsahan identitas sebagai warga negara. Namun, pada  2007 akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Pasal 61 ayat 2 dan Pasal 64 ayat 5 UU Administrasi Penduduk. Karena terbitnya kebijakan tersebut, mereka bisa memiliki KTP/ KK, namun tetap saja bagian kolom agama dikosongkan. Mereka beragama, tapi tidak diperbolehkan mencantumkan agamanya sendiri.

Kasus yang dialami Ndoli dan sejumlah regulasi yang dibuat pemerintah bertolak belakang dengan UUD 1945 Pasal 28I ayat 2. Di ayat tersebut, tertulis bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun, dan berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif dari siapa pun. Harusnya, pemerintah dapat memberikan jaminan atas hak yang sama pada setiap warga negaranya.

Diskriminasi terhadap Agama Kaharingan

Dari sejumlah agama lokal yang berada di berbagai sudut wilayah Indonesia, salah satunya ada agama Kaharingan. Penganut Kaharingan, sayangnya, juga tak lepas dari diskriminasi.

Agama Kaharingan atau yang sekarang dikenal dengan Hindu Kaharingan merupakan salah satu agama lokal yang berasal dari kesukuan Dayak di daerah Kalimantan. Kaharingan diperkirakan sudah ada sejak manusia pertama di Nusantara. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya penemuan sandung (tempat yang terbuat dari kayu ulin penyimpanan tulang) pada upacara yang biasanya dilakukan oleh penganut Kaharingan (Sugiyarto, 2016). Agama Kaharingan berkembang pada tahun 1957 di perkampungan suku Dayak, Kalimantan. Mayoritas penganut Kaharingan menghuni daerah Kabupaten Palangkaraya.

Penganut Kaharingan, seperti penganut agama-agama lokal lain, kerap kesulitan mengurus hal-hal terkait administrasi. Etika (2018) menyatakan, dengan adanya Pasal 61 ayat 2 dan Pasal 64 ayat 5 UU Administrasi Penduduk, ternyata masih banyak peraturan perundang-undangan dalam proses pengimplementasiannya mengalami kendala. Penganut Kaharingan, misalnya, mereka masih merasakan sulitnya menembus instansi perguruan tinggi, bahkan untuk menjadi pegawai negeri juga sulit.

Penganut Kaharingan memperjuangkan jati diri sejak 1950, hingga pada 30 tahun kemudian, yaitu pada 1980 masa Orde Baru, keluarlah Surat Keputusan (SK) Nomor: T.M. 49/I/3. Mereka resmi bergabung dengan kelompok agama Hindu, maka disebutlah Hindu Kaharingan. Sebenarnya, SK ini problematik sebab Hindu dan Kaharingan adalah dua eksistensi agama yang berbeda.

SK problematik ini lantas memunculkan masalah baru. Ternyata, setelah bergabung dengan Hindu, banyak keresahan yang dialami para pemeluk Kaharingan. Penyebabnya, tentu saja dikarenakan perbedaan antara dua agama tersebut. Walaupun ada sedikit kesamaan, yaitu sama-sama memiliki dewa dan menggunakan dupa saat beribadah. Perbedaannya lebih beragam. Mulai dari apa yang menjadi anutan, kitab suci, tempat ibadah, bahkan perbedaan juga terlihat pada saat melaksanakan upacara kematian. Bahkan, pemuka agama Hindu mengungkapkan bahwa ia tidak bisa melaksanakan ritual upacara Kaharingan, begitu pula sebaliknya.

Piagam Palangkaraya 2000, menjadi saksi bisu perjuangan penganut Kaharingan untuk memperoleh pengakuan dari negara. Piagam ini diberikan di era reformasi ketika Abdurahman Wahid atau Gus Dur menjabat sebagai presiden di Indonesia. Adanya piagam ini dilatarbelakangi oleh upaya Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) mengajukan tuntutan agar Kaharingan dapat diakui sebagai agama sendiri dan terpisah dari agama Hindu.

Dalam proses panjang perjuangan tersebut, akhirnya pemerintah memberikan tanggapan melalui putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016  yang kemudian ditindaklanjuti dengan Permendagri Nomor 118 Tahun 2017, mengenai pemberlakuan pencantuman agama kepercayaan dalam kolom e-KTP. Adanya keputusan tersebut seolah-olah masyarakat sedikit mendapatkan harapan baru mengenai jawaban atas tuntutan masa lalu yang belum menemui titik temu.

Akan tetapi, jika dilihat perkembangannya lebih jauh, sebenarnya pemerintah belum benar-benar memiliki rancangan ataupun langkah-langkah yang terstruktur menuju pemberlakuan pengakuan yang sesungguhnya terhadap agama-agama lokal di Indonesia.

Masyarakat Belum Siap

Kebijakan pemerintah yang terbilang masih abu-abu untuk mengakui penganut Kaharingan ternyata bukan satu-satunya persoalan. Stigma masyarakat juga kadang menjadi belenggu untuk merasa aman dalam menjalankan keyakinan sebagai penganut Kaharingan, selain menjadi warga negara sebagaimana mestinya.

Masyarakat beranggapan bahwa agama Kaharingan merupakan aliran kepercayaan. Penganutnya masih dianggap tidak memiliki agama, sehingga menyulitkan mereka untuk melamar pekerjaan.

Pada Oktober 2018, perwakilan masyarakat yang tergabung dalam Majelis Agama Kaharingan Indonesia (MAKI) menyampaikan keluhannya kepada komnas HAM dan komnas Perempuan di Jakarta. Juru bicara MAKI saat itu, Nesiwati menyampaikan bahwa terdapat tekanan yang dialami oleh anak- anak pemeluk agama leluhur Kaharingan. Mereka dipaksa untuk belajar agama Hindu. Selain itu, juga terjadi ketidakadilan yang dialami oleh guru yang bersedia mengajar agama Kaharingan. Ia malah dipecat karena dianggap tidak taat kepada peraturan sekolah yang telah mewajibkan pengajaran agama Hindu untuk murid didik pemeluk agama Kaharingan.

Agama Kaharingan juga dijadikan alat untuk menunjang popularitas dalam dunia politik, serta masih mengalami distorsi oleh beberapa golongan masyarakat. Misalnya, melalui penolakan berbagai bentuk ritual keagamaan; mereka menyebutkan bahwa Kaharingan merupakan suatu kepercayaan yang beribadahnya adalah dengan memuja berhala. Anggapan seperti ini membuat penganut Kaharingan merasa dikucilkan oleh segelintir golongan masyarakat.

Karena ketidakefektifan administrasi, ditambah ada stigma dari masyarakat, agama Kaharingan mengalami penurunan penganut setiap tahunnya. Menurut data statistik Kalimantan Tengah, melalui registrasi penduduk, penganut Agama Kaharingan pada  2011 masih berjumlah 7.142 penganut, namun pada 2018 menjadi 1.992 penganut.

Dari permasalahan tersebut, sebenarnya yang menjadi akar permasalahan diskriminasi terletak kepada kebijakan-kebijakan pemerintah yang belum benar-benar siap. Dikatakan demikian karena hanya memaparkan soal teknisnya saja, padahal kebijakan tersebut malahan memberi pengaruh minor lainnya dalam skala besar.

Produk hukum yang dikeluarkan melalui SK di atas tidak memiliki pijakan kuat untuk dijadikan produk hukum yang mengikat. Agama Kaharingan memang dirangkul melalui keputusan Mahkamah Konstitusi, namun hanya melalui aturan administrasi penduduk saja, bukan hak-hak keberagaman penuh sebagai warga negara di Indonesia.

https://ekspresionline.com/2020/04/12/agama-kaharingan-dirangkul-pemerintah-belum-siap-diterima-masyarakat/