Kisah ‘Aisyiyah Bina Mualaf dan Non-Muslim di Lereng Gunung Bromo Tengger Semeru

afandi

 by afandi8 Maret 2021

MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Kemajuan Kecamatan Senduro dan Kecamatan Gucialit Lumajang adalah saksi bisu jejak ‘Aisyiyah di pelosok lereng gunung Bromo Tengger Semeru.

Jika waktu salat tiba, anda seolah mendengar suara azan menggema menembus kabut dan dingin udara gunung.

Ketika anda berkunjung ke Senduro dan Gucialit itu, anda akan menemui akses jalan yang layak disertai sentra UMKM baik kerajinan tangan, produk olahan sayur dan pisang, hingga kampung tempe.

Masjid dan musala juga tumbuh berdampingan dengan pura dan sanggar. Sebagaimana kerukunan antar umat muslim yang mayoritas mualaf, umat Hindu dan penghayat kepercayaan di lereng gunung BTS.

Di Kecamatan Senduro saja, Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Lumajang tahun 2018 mencatat ada 262 mushola dan 48 masjid, sementara pura dan sanggar tidak lebih dari angka 13.

RELATED POST

Menakar Kelekatan Internal Umat islam

Tali Persaudaraan Umat Muslim yang Dimulai dari Doa

Keadaan seperti ini tidak dapat anda temukan jika anda mengunjungi Senduro maupun Gucialit 20 tahun lalu. Ketika Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA) Lumajang memantapkan tekad untuk mulai berjihad membangun ekonomi dan kegiatan sosial di Kecamatan Senduro dan Gucialit.

Membangun Manusia Senduro dan Gucialit

“Tapi sungguh berat perjuangan di awal-awal tahun. Terutama medan yang tidak mendukung. Kita butuh tiga jam sampai enam jam perjalanan dengan jalan yang kanan kiri jurang, batuan dan kadang berlumpur,” ungkap Lilik Nurdiyani mengenang tahun 2002 ketika pertama kali berkunjung ke Senduro dan Gucialit.

Dalam webinar Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Jumat (19/2) Ketua PDA Lumajang yang menjadi salah satu pelopor penggerak dakwah Muhammadiyah di lereng gunung Bromo Tengger Semeru itu mengisahkan bahwa dalam setahun pertama, perjalanan antara dua atau tiga kilometer menuju lokasi harus ditempuh dengan jalan kaki menyusuri tebing dan jurang.

“Ada lima masalah selama kita dakwah mengentas mualaf di Semeru. Pertama geografis, medan berbatu, berlumpur. Kendaraan tidak bisa masuk. Tahun pertama jalan kaki, tahun kedua bisa motor, tahun terakhir bisa mobil,” kenangnya.

Masalah kedua yang ditemukan adalah kader yang terbatas. Lilik mengungkapkan bahwa masa-masa awal ke Senduro, tim yang dimiliki hanya 20 orang dan yang dapat bergerak menuju lokasi antara 5 hingga 10 orang saja. Tidak hanya ‘Aisyiyah, mereka juga menggandeng lembaga dan majelis lain di Muhammadiyah untuk bergabung.

“Sekali turun minimal tiga majelis,” ungkapnya sembari menjelaskan bahwa delapan majelis dan ortom di Muhammadiyah tak lupa dilibatkan secara bergiliran.

Masalah ketiga yang dijumpai adalah tidak tersedianya anggaran sehingga pada tahun-tahun awal, Lilik dan pegiat ‘Aisyiyah lainnya seringkali memakai cara ‘urunan’ untuk bisa melakukan kerja dakwah.

Masalah selanjutnya adalah sumber daya manusia dan kualitas hidup yang rendah. Pemahaman tentang sanitasi, ruang hidup yang layak, hingga optimalisasi potensi alam tidak diketahui. Tidak adanya alat produksi dan cara hidup yang sangat tradisional menambah tantangan Muhammadiyah.

Tidak Melulu Soal Mualaf

Lilik mengakui bahwa usaha Muhammadiyah di lereng Semeru bukan hanya soal dakwah Islam, tapi juga mengentaskan taraf kelayakan dan kualitas hidup masyarakat setempat secara umum. Termasuk masyarakat nonmuslim di daerah tersebut.

Tujuan utama Muhammadiyah datang di Senduro dan Gucialit adalah mengentaskan kaum dhuafa agar mampu bersaing, mandiri dan berdayaguna.

Hampir 20 tahun mendampingi warga Senduro dan Gucialit, Muhammadiyah menggandeng banyak pihak dari swasta hingga dinas pemerintah untuk memajukan taraf kehidupan masyarakat setempat.

Secara bertahap, Muhammadiyah melakukan program program penataan rumah, sanitasi, pembangunan tempat ibadah, hingga penataan pola pikir dan keterampilan mengolah sumber daya alam dari hulu sampai hilir.

“Pertama, kami meluruskan pola pikir supaya mereka punya pandangan positif dan kehidupan yang lebih baik. Setelah itu kita porsikan sesuai potensi wilayahnya. Baru proses berikutnya seperti pengolahan pangan, packaging, dan lain-lain,” jelas Lilik.

Pemberdayaan ekonomi dipilih sebagai fokus utama sebab wilayah Senduro dan Gucialit memiliki potensi alam yang beragam dan kaya.

“Pemberdayaan masyarakat kami kolaborasikan dengan bisnis lingkungan untuk melakukan pembinaan agar mereka bisa mengolah potensi alam yang belum tersentuh agar mendapat nilai tambah,” imbuhnya.

Setelah hampir 20 tahun mendampingi masyarakat lereng Semeru dengan penuh ketekunan dan ketulusan, Muhammadiyah kini merasakan manisnya perjuangan.

Aisyiyah-Muhammadiyah Membina 500 Keluarga

Di Kecamatan Senduro yang memiliki delapan kelurahan, Muhammadiyah telah membina lebih dari 500 keluarga binaan dengan mualaf lebih dari 1000 orang.

Lilik mengungkapkan bahwa kemajuan dakwah di Senduro telah mencapai 85 persen. Sementara itu, kemajuan kemanfaatan di Gucialit baru tergarap 60 persen karena dimulai lebih lambat yakni sejak 2015.

“85 persen mualaf suku tengger sekarang sudah mandiri. Tinggal satu desa itu, Desa Argopuro di puncak B29,” jelas Lilik.

Atas kerja nyata itu, Wakil Ketua Koordinator Majelis Ekonomi Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah Lumajang Siti Sahiria Mahindar menerima Penghargaan Upakarti tahun 2020 kategori Jasa Pengabdian yang diberikan secara langsung oleh Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin dan Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita.

Geliat dakwah Muhammadiyah juga makin semarak dengan berdirinya Pimpinan Cabang Muhammadiyah Senduro dan Gucialit, menyusul amal usaha yang pelan-pelan dibangun.

Tidak hanya memperbaiki taraf hidup masyarakat, nyatanya kehadiran Muhammadiyah juga turut andil dalam menjaga toleransi antar umat beragama di Senduro.

Sebagai bukti, pemerintah setempat meluncurkan Desa Senduro sebagai pusat referensi toleransi antar umat beragama atau Desa Sadar Kerukunan Umat Beragama pada bulan Oktober tahun 2020.

Editor: Fauzan AS

https://muhammadiyah.or.id/kisah-aisyiyah-bina-mualaf-dan-non-muslim-di-lereng-gunung-bromo-tengger-semeru/