Cerita Orang-orang Kepercayaan di Balik Tragedi 1965 (3)

Tempat Semedi: Sanggar Wonomarto, tempat Sembah Hyang (Semedi) warga Penghayat Kepercayaan Paguyuban Budaya Bangsa di Jl. Sumatra No. 9, Wonokryo, Gombong, Kebumen Jawa Tengah. Foto Ceprudin

Admin

Admin

02/02/2023

 Post Views: 9

“Tahun 1965 ada gejolak G30S/PKI, warga kita seolah dibekukan, tidak boleh mengadakan pertemuan. Akhirnya, ada yang keluar (dari Kepercayaan) ke Islam, Kristen, Hindu dan Buddha”

Banjarnegara, elsaonline.com – Pasca gejolak 1965 organisasi-organisasi Kepercayaan banyak yang tinggal nama. Beku atau tidak aktif lagi karena ditinggal para “jemaatnya” yang dengan berat hati memeluk “agama negara”. Meski berat, itu pilihan terbaik demi keselamatan diri dan keluarga. Kala itu seseorang yang tidak terafiliasi dengan salah satu agama, rentan mengalami tuduhan komunis dan terancam ditahan tanpa proses peradilan.

Paguyuban Budaya Bangsa (PBB) salah satu kelompok Kepercayaan di Jawa Tengah, yang pada mulanya beranggotakan sekitar 5000 orang lebih dan menyusut hingga sekitar 2000 an orang. Khusus di Kabupaten Banjarnegara semula ada 800 orang kemudian tersisa 180 kepala keluarga.

PBB merupakan salah satu kelompok Kepercayaan yang ketika berdiri 1917 bernama Kawruh Naluri (KWN). KWN didirikan Ki Bagus Hadikusumo dan diteruskan oleh Ki Bagus Nur Hadi tahun 1952 hingga 1964.

“Tahun 1965 ada gejolak G30S/PKI, warga kita seolah dibekukan tidak boleh mengadakan pertemuan. Kita dianggap orang yang tidak memiliki agama. Karena ada satu pergolakan zaman akhirnya ada yang keluar ke Islam, Kristen, Hindu dan Buddha,” tutur sesepuh Penghayat Kepercayaan Paguyuban Budaya Bangsa Desa Somawangi, Kecamatan Mandiraja, Banjarnegara, Suryono Sujari saat ditemui di kediamannya, akhir 2022 lalu.

Menurut Sujari, saat itu orang-orang Kepercayaan dipaksa harus mengakui dan memilih salah satu agama. Mereka diidentikan dengan Komunis yang secara hakikat sangat berbeda antara ajaran Kepercayaan dengan ideologi PKI. Kepercayaan adalah ajaran yang sangat kental kejawen dan adat istiadat leluhur.

Baca Juga Laura Romano: Spiritualis Jawa dari Negeri Pizza

Legalitas

Pada kelompok Paguyuban Budaya Bangsa kini sudah ada legalitas badan hukum berbentuk yayasan, ada AD/ART, dan susunan kepengurusan. Artinya ketika sudah berbadan hukum, pada AD/ART tegas setiap pada Pancasila dan NKI. Secara ritual PBB juga ada ritual kelahiran dengan nama “tingalan”, ritual orang meninggal “nyaur tanah” dan ritual perkawinan denan “selametan pernikahan”.

Pada peringatan hari kematian dalam ajaran Kepercayaan Budaya Bangsa dilakukan pada hari ke 7, 40, 100, dan 1000 hari kematian. Dalam ajaran PBB juga ada doa-doa ritual kelahiran, perkawinan, dan kematian. Ajaran PBB juga lengkap dengan tata cara sembahyang dan waktu mengerjakannya berupa sarasehan yang bertempat di padepokan setiap Kamis Manis.

“Setelah tahun 1965, PBB paling banyak mengalami kekurangan. Sebelum tahun itu, anggotanya hampir mencapai 5000-an. Tersebar di Jawa dan Luar Jawa. Waktu itu sanggarnya hanya adai di Gombong, saya masih kecil kisaran umur 14 tahun. Saat ini hampir setiap daerah punya sanggar atau padepokan,” lanjut Sujari.

Banyaknya warga Penghayat yang memilih memeluk agama bukan tanpa alasan. Setelah meletusnya tragedi 1965 mereka mengalami kehidupan yang serba sulit. Mulai dari ritual ibadah, sekolah, mengurus Adminduk, dan perkawinan. Kesulitan-kesulitan itu yang membuat orang-orang Kepercayaan tidak tahan dan memilih keluar dari penghayat. Meskipun ada pula yang akhirnya kembali lagi menjadi Penghayat.

Nikah Adat

“Kita sebagai Penghayat waku pernikahan masih menggunakan pernikahan secara adat, belum bisa dicatatkan secara sipil, belum bisa dicatatkan di Dukcapil. Menunggu peraturan yang turun. Dulu pernah ada tahun 1980-an, namun dibekukan lagi. Kami tetap tidak punya akta nikah. Lalu kisaran tahun 2008 sampai sekarang sudah bisa dicatatkan dan berjalan dengan baik,” kata Ketua PBB Banjarnegara tahun 1982 sampai 1998 itu.

Baca Juga Di Akar Rumput, Warga Nahdliyyin Masih Mudah Terprovokasi

Sejak 1965 itu, banyak di internal keluarga Penghayat Kepercayaan menajdi tak karu-karuan nasibnya. Sisa-sisa warga Penghayat yang tetap bertahan, tidak mengikuti salah satu agama pun harus menghadapi persoalan serius ketika anak-anaknya memutuskan untuk pindah memeluk agama.

Pada setiap keluarga Penghayat banyak yang anak dan orang tua berbeda keyakinan. “Kalau anak beragama Islam dan orang tua penghayat kan berati orangt uanya tidak bisa menjadi wali (saat anak perempuannya hendak menikah). Harus pakai wali hakim. Makanya setelah masa reformasi di kami (PBB) ada pendidikan anak didik untuk melestarikan ajaran kepercayaan,” katanya.

Harapan Sujari, kedepan warga Penghayat bisa lebih dekat dengan pemerintah. Kedekatan itu akan membuka mata hati dan jati diri yang sesungguhnya dari Penghayat. Saat ini pemerintah perlahan sudah membuka pintu dan ruang untuk mengembangkan ajaran Kepercayaan. (Ceprudin)

Cerita Orang-orang Kepercayaan di Balik Tragedi 1965 (3)