AKANKAH RANCANGAN PERPRES PKUB RANGKUL PENGHAYAT?

Mendorong kesetaraan bagi kelompok penghayat

Komunitas Kejawen menggelar ritual punggahan jelang Ramadan di Pekuncen, Banyumas. (Foto: KBR/Ridlo)

Selasa, 30 Januari 2024https://open.spotify.com/embed/episode/64r6rADxHwsVdPd4prqyYC?utm_source=generator

KBR, Jakarta – Engkus Ruswana mengakui penghayat kepercayaan makin diterima di masyarakat. Apalagi secara legal, keberadaan penghayat ditegaskan lewat putusan Mahkamah Konsitusi Tahun 2017.

“Relatif lebih baik, karena intoleran juga sudah tidak terlalu kuat, sudah melemah, banyak yang mulai tercerahkan, tentang apa dan siapa (penghayat) kepercayaan. Selama ini banyak stigma, sedikit demi sedikit terkikis. Ada perubahan respon dari masyarakat,” kata Engkus.

Meski begitu, praktik kesetaraan itu masih parsial. Di urusan pemakaman, misalnya, sampai sekarang, belum ada jaminan penghayat bisa dikuburkan di tempat pemakaman umum (TPU).

“Karena kita belum punya pemakaman. Umumnya di pemakaman itu kan ada blok Islam, blok Hindu, blok Buddha, Konghucu. Blok Kepercayaan nggak ada,” ujar pimpinan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) ini.

Penghayat Budi Daya ini mengalami langsung diskriminasi itu saat hendak memakamkan jenazah ibunya pada 2001 silam. Warga setempat menolak karena menganggap ibu Engkus tidak memiliki agama. Setelah berunding panjang, akhirnya jenazah boleh dimakamkan di sana, dengan syarat harus disalatkan dulu.

“Kalau ada kematian, umumnya dimakamkan di makam keluarga. Tapi kalau di masyarakat kota, kan problem. Kadang-kadang akhirnya terpaksa minta dispensasi ke tempat tertentu atau terpaksa diagamakan dulu. Karena negara atau pemerintah belum menyediakan itu,” jelas Engkus.

Baca juga: Minoritas Menanti Langkah Progresif di Rancangan Perpres PKUB

Engkus Ruswana, pimpinan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), hasil tangkapan layar konten Youtube Setara Institute, 11 Maret 2022.

Engkus berharap diskriminasi ini disudahi. Harapannya tertuju pada pada Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (PKUB), yang tengah digodok pemerintah.

Penghayat mesti dicantumkan dalam rancangan, setara dengan enam agama lain. Penghayat juga mestinya bisa punya wakil resmi di Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Jika hal ini bisa dilakukan, akses ke fasilitas publik seperti pemakaman pun bakal kian mudah.

“Kalau dimasukkan, artinya sudah disetarain, kalau setara kan kurang lebih juga harus ada pelayanan (pemakaman) juga tho? Karena perpres kan di atas perda kedudukannya, itu bisa jadi acuan untuk perda tentang misalnya pemakaman,” ucap Engkus.

Engkus bilang, di sebagian daerah, penghayat sudah dilibatkan dalam FKUB maupun forum lain di masyarakat. Bahkan misalnya di Cilacap, Jawa Tengah dan Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, penghayat resmi masuk di FKUB lewat SK bupati.

“Hampir semua kabupaten di Jawa Tengah, termasuk provinsinya, dibentuk Generasi Muda (Gema) FKUB. Kalangan muda penghayat sudah dilibatkan di sana, (karena) masuk ke FKUB formalnya tidak ada payung hukum, jadi disiasati di situ,” terang Engkus.

Di Aceh Singkil, penghayat Parmalim juga sudah diterima warga Aceh Singkil. Hak berkeyakinan dan beribadah mereka pun dihormati. Hal ini berdasarkan hasil riset akademisi IAIN Langsa Aceh, Yogi Febriandi.

“Tempat ibadahnya orang-orang Ugamo Malim tidak diusik. Bahkan kayak di Desa Situbuh-tubuh, dana desa dipakai, (meski) sebagian kecil saja (untuk Parmalim). Itu inisiatif yang sangat bagus untuk mendukung kegiatan beribadah, misalnya (untuk) penyediaan alat-alat untuk mereka ibadah,” kata Yogi.

Kendala administrasi

Hak dan kemudahan itu justru sulit didapat penghayat di level pemerintah daerah maupun pusat, karena masalah administratif.

Pasalnya, penghayat berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bukan Kementerian Agama.

“Ketika mereka memasukkan proposal bantuan ke Kemenag, Depag Aceh Singkil menolak karena ini bukan bagian dari tupoksinya. Karena Depag jelas kata agama, jadi hanya untuk umat beragama yang resmi. Nah, ketika mereka minta ke Dinas Kebudayaan Aceh Singkil, untuk bantuan pemugaran tempat ibadah, nggak masuk juga karena tidak ada istilah tempat ibadah dalam mata anggaran dinas,” Yogi menjelaskan.

Baca juga: Minoritas Hidup Damai di Kota Doa

Penganut Ugamo Bangsa Batak, Arnol Purba (kanan) berjabat tangan dengan penghayat kepercayaan lain di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/11/2017). (Foto: Antara).

Situasi ini ditengarai menjadi potensi pengganjal masuknya penghayat dalam Rancangan Perpres PKUB. Kementerian Agama sebagai koordinator penyusunan rancangan itu, sudah menyerahkan draf ke Kemenko Polhukam, akhir 2023 lalu.

Juru bicara Kemenag Anna Hasbi tak menampik adanya perdebatan tentang posisi penghayat. Namun, naskah finalnya masih akan dibahas lintas kementerian.

“Ada beberapa pertimbangan, bukan dari Kemdikbud saja, misalnya mungkin ada nomenklatur yang harus berubah. Jadi karena ini aturan, kita nggak bisa parsial melihatnya. Makanya perpres ini mau dibahas betul-betul secara menyeluruh, supaya nanti bisa mencakup dan mengatur semuanya, nantinya akan dibahas bersama,” ujar Anna.

Yogi mendorong rancangan Perpres PKUB lebih inklusif dengan merangkul penghayat. Langkah ini bisa menjamin hak berkeyakinan dan beribadah mereka.

“Agar penghayat punya legalitas ketika ingin mengurus izin tempat ibadah atau ketika memiliki masalah dengan tempat ibadah mereka. Ini penting karena di FKUB kan selama ini hanya untuk kelompok-kelompok agama besar. Harusnya namanya adalah Forum Kerukunan Umat Beragama atau Berkeyakinan,” usul Yogi.

Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Pramono Ubaid berpandangan, kerumitan ini bersumber dari cara pemerintah memandang penghayat. Jika perspektif pembuat kebijakan masih salah kaprah, maka sulit berharap rancangan Perpres PKUB sebagai pintu masuk kesetaraan bagi penghayat.

“Mereka (pemerintah) menganggap ini bagian dari kebudayaan, seolah-olah negara cukup katakanlah, memelihara agar tidak punah. Itu bagian dari seni, budaya, adat istiadat, padahal bukan kan? Padahal itu bagian dari sistem kepercayaan yang memang dianut oleh sebagian dari warga kita. Kita tidak boleh menggunakan cara pandang yang monoteistik,” kata Pramono.

https://kbr.id/01-2024/akankah-rancangan-perpres-pkub-rangkul-penghayat-/114167.html